Ekspor Kopi Terancam Sertifikasi
SURABAYA - Ekspor kopi Indonesia di beberapa negara pengimpor besar mulai terancam. Selain faktor produksi dalam negeri yang stagnan, aturan sertifikasi yang diberlakukan di beberapa negara Eropa menjadi ancaman serius produsen kopi Indonesia.
Ketua Umum GAEKI- ICEA, Hutama Sugandhi mengatakan aturan sertifikasi terkait isu lingkungan sebenarnya telah diminta negara-negara Eropa sejak tiga tahun terakhir. Tapi sekarang permintaan itu semakin ketat. Diperkirakan puncak dampak penerapan aturan itu akan terasa di tahun 2015.
“Sebenarnya kopi kita tidak bermasalah, persyaratan-persyaratan menyangkut isu lingkungan itu pasati bisa terpenuhi tapi kami memiliki banyak pertimbangan jika harus menuruti semua aturan itu,” ujar Hutama , Selasa (22/1/2013). Ia menyebut hal pokok yang memberatkan adalah penunjukan lembaga yang mengeluarkan sertifikasi dalaha lembaga atau LSM dari Eropa.
Penunjukan lembaga pemeberi sertifikasi dari Eropa dengan sendirinya akan menimbulkan biaya tambahan. Sedangkan benefit yang didapat belum tentu bisa menutup biaya-biaya itu. “Selain akan menimbulkan cost tambahan lebih besar, lembaga asing itu akan melakuan survey ke sini, kalau sudah memeriksa ke sini urusannya bukan lagi soal bisnis tapi juga politis,” terang Hutama.
Untuk itu GAEKI sudah menyampaikan ke pemerintah dan asosiasi kopi dunia agar Indonesia bisa memiliki lembaga sertifikasi sendiri.
Selain ancaman hambatan ekspor ke Eropa, ekspor kopi ke Jepang juga sudah menghadapai halangan. Produk kopi lokal khususnya yang berasal dari Sumatra tidak bisa masuk ke Jepang karena aturan ambang batas residu pestisida.
Kopi Indonesia tidak bisa masuk karena standar ukuran kandungan unsur Carbaryl di Jepang berbeda dari negara lain. “Di Jepang memberlakukan positif list yang memuat 140 item kandungan bahan ‘berbahaya’, nah unsur carbaryl tidak masuk dalam list itu, karena di luar daftar maka batas kandungan yang diberlakukan sebesar 0,01 part per bilion (PBB), padahal di Eropa unsur carbaryl bisa 0,1 PBB,” terang Hutama.
Akibat ekspor kopi ke Jepang tahun 2012 mengalami penurunan hingga 15 persen. Jika biasanya ekspor ke Jepang sebanyak 70.000 ton per tahun, tahun lalu hanya menjadi 50.000 ton.
Jumlah ekspor kopi dari Indoensia di tahun 2012 sekitar 435.000 ton. Dari jumlah ekspor nasional itu, sekitar 15 persen di antaranya, atau sekitar 55.000 ton merupakan kopi dari Jatim. Sedangkan negara di Eropa menjadi slah satu tujuan ekspor kopi terbesar. Negara pengimpor kopi terbesar dari Indonesia yakni Jerman, Amerika dan Jepang.
Kabag Pemasaran PTPN XII, sebagai salah satu perusahaan yang memproduksi dan pengekspor kopi, Dudiek Polii menyebut negara tujuan ekspor memang mempertanyakan sertifikasi tertentu. “Kami selama ini memang sudah memiliki sertifikat pengelolaan kopi yang baik, jadi ketika kami tunjukkan kopi itu, selama ini ekspor bisa berjalan normal,” ujar Dudiek.
Sumber : Surya Online
Ketua Umum GAEKI- ICEA, Hutama Sugandhi mengatakan aturan sertifikasi terkait isu lingkungan sebenarnya telah diminta negara-negara Eropa sejak tiga tahun terakhir. Tapi sekarang permintaan itu semakin ketat. Diperkirakan puncak dampak penerapan aturan itu akan terasa di tahun 2015.
“Sebenarnya kopi kita tidak bermasalah, persyaratan-persyaratan menyangkut isu lingkungan itu pasati bisa terpenuhi tapi kami memiliki banyak pertimbangan jika harus menuruti semua aturan itu,” ujar Hutama , Selasa (22/1/2013). Ia menyebut hal pokok yang memberatkan adalah penunjukan lembaga yang mengeluarkan sertifikasi dalaha lembaga atau LSM dari Eropa.
Penunjukan lembaga pemeberi sertifikasi dari Eropa dengan sendirinya akan menimbulkan biaya tambahan. Sedangkan benefit yang didapat belum tentu bisa menutup biaya-biaya itu. “Selain akan menimbulkan cost tambahan lebih besar, lembaga asing itu akan melakuan survey ke sini, kalau sudah memeriksa ke sini urusannya bukan lagi soal bisnis tapi juga politis,” terang Hutama.
Untuk itu GAEKI sudah menyampaikan ke pemerintah dan asosiasi kopi dunia agar Indonesia bisa memiliki lembaga sertifikasi sendiri.
Selain ancaman hambatan ekspor ke Eropa, ekspor kopi ke Jepang juga sudah menghadapai halangan. Produk kopi lokal khususnya yang berasal dari Sumatra tidak bisa masuk ke Jepang karena aturan ambang batas residu pestisida.
Kopi Indonesia tidak bisa masuk karena standar ukuran kandungan unsur Carbaryl di Jepang berbeda dari negara lain. “Di Jepang memberlakukan positif list yang memuat 140 item kandungan bahan ‘berbahaya’, nah unsur carbaryl tidak masuk dalam list itu, karena di luar daftar maka batas kandungan yang diberlakukan sebesar 0,01 part per bilion (PBB), padahal di Eropa unsur carbaryl bisa 0,1 PBB,” terang Hutama.
Akibat ekspor kopi ke Jepang tahun 2012 mengalami penurunan hingga 15 persen. Jika biasanya ekspor ke Jepang sebanyak 70.000 ton per tahun, tahun lalu hanya menjadi 50.000 ton.
Jumlah ekspor kopi dari Indoensia di tahun 2012 sekitar 435.000 ton. Dari jumlah ekspor nasional itu, sekitar 15 persen di antaranya, atau sekitar 55.000 ton merupakan kopi dari Jatim. Sedangkan negara di Eropa menjadi slah satu tujuan ekspor kopi terbesar. Negara pengimpor kopi terbesar dari Indonesia yakni Jerman, Amerika dan Jepang.
Kabag Pemasaran PTPN XII, sebagai salah satu perusahaan yang memproduksi dan pengekspor kopi, Dudiek Polii menyebut negara tujuan ekspor memang mempertanyakan sertifikasi tertentu. “Kami selama ini memang sudah memiliki sertifikat pengelolaan kopi yang baik, jadi ketika kami tunjukkan kopi itu, selama ini ekspor bisa berjalan normal,” ujar Dudiek.
Sumber : Surya Online
0 komentar